Kamis, 13 November 2014

fanfiction - selamat tinggal

Semua barang sudah kumasukkan kedalam tas, Pocky Strowberry kesukaanku, puding buatan agnes, syal berwarna merah terang yang merupakan pemberian Devon jika aku datang mendukungnya. Dan tidak lupa kamera kesayanganku, jangan salah kamera itu Julian yang menyuruh tapi lebih tepatnya memaksa, anak itu memang selalu seperti itu memaksaku menggali bakat terpendamku dibidang fotografi, dia lebih mendukungku dibidang fotografi daripada kepenulisan. 
Agnes dan Julian memandangku tak sabar, memangnya berapa lama sih waktu yang kugunakan untuk berkemas? Lima menit? Sepuluh menit? Tidak, tidak, hanya satu jam. Tapi bagiku itu berlangsung sangat cepat sehingga aku tak merasakannya. 
"Sophie, kita bisa terlambat lagi, berapa lama lagi kamu memasukkan dan mengeluarkan barang. Jadilah bijaksana seperti namamu," ujar Julian yang menandakan ketidak sabarannya menungguku. 
Sebenarnya aku bingung juga kenapa setiap mendukung Devon aku selalu seribut ini, padahal biasanya aku selalu cuek! Entahlah bagiku segalanya tentang Devon itu selalu membuatku repot, tapi kerepotan itulah yang membuatku nyaman. Aku tak pernah tahu apa itu namanya, yang penting bagiku adalah rasa nyaman itu bukan sebutannya. 
"Sophie jangan melamun!" seru si lembut Agnes. 
Aku mendesah perlahan, kulirik kearah rumah Devon yang tepat disampingku, mobilnya sudah tidak ada berarti dia sudah berangkat. Mungkin sudah sekitar satu jam yang lalu dia berangkat, entahlah yang kutahu dia sudah berangkat. 
Jangan salah selama perjalanan aku hanya memikirkan Devon, bagaimana anak itu membuatku selalu nyaman disisiku, bagaimana rasa cemburuku ketika dia dengan gadis lain, bagaimana sedihku ketika melihat ayahnya memarahinya karena kesalahan-kesalahan kecil akibat obsesinya terhadap anak laki-laki tunggalnya. Seandainya Devon tahu bahwa ada aku yang selalu bersedia berbagi dengannya selain Julian dan Agnes. Aku tak pernah tahu kenapa aku ingin melihatnya tersenyum sepanjang hari, terutama senyuman untukku. 
Seandainya Devon tahu seberapa membutuhkan aku terhadapnya, terkadang aku bingung dengan rasaku sendiri, aku cuek tapi menyayangi Devon lebih dari seorang sahabat kecil, aku membutuhkannya lebih daripada yang lain. Aku selalu cemburu jika Devon dengan gadis lain tentu saja bukan Agnes, walaupun mereka penah pura-pura berpacaran tetapi jujur saja tak sedikitpun aku cemburu. Tapi sayangnya aku terlihat cuek, tak mempedulikan apapun yang terjadi dengan Devon, tentu saja aku berpura-pura, segala sesuatu tentangnya bagiku itu sangat penting! 
Harus kuakui keterlambatan ini adalah murni kesalahanku yang terlalu lama berkemas, tetapi masih bersyukur ada tempat kosong didepan. Setidaknya Devon tahu bahwa aku, Julian dan Agnes datang untuk mendukungnya. Aku tak pernah bisa membayangkan jika kami tidak duduk didepan maka Devon tak kan melihat kami, pasti semangatnya akan turun yang menyebabkan ayahnya akan marah besar terhadapnya karena kehilangan motivasi. Itu juga membuatku sedih, sebenarnya membingungkan juga tidak mendapat tempat duduk didepan bisa membuatku bersedih, tetapi itulah kenyataannya. 
Seperti itulah Devon semangatnya selalu membaik ketika sahabatnya mendukung, apalagi jika ditambah teriakan semangat yang sebanarnya adalah teriakan makian, tapi setidaknya dia lebih bersemangat, entah karena murni teriakanku atau karena teriakanku itu menandakan kami ada untuknya. Aku tak pernah mau beranggapan terlalu percaya diri, aku tak ingin perasaanku sakit terlalu dalam. 
Sekarang yang kulihat Devon sedang memainkan bola dilapangan hijau, mencoba mengecoh musuh dan tentu saja gagal, dasar payah! Sampai kapan dia kehilangan semangat jika tanpa kami, dan tanpa teriakanku. Ayahnya meneriakinya dengan membabi-buta, aku tak pernah mau membayangkan jika permainan Devon seperti ini hingga pertandingan berakhir apa jadinya dia ditangan ayahnya. 
Aku beranjak dan mulai mengeluarkan jurus mautku. "Woy bodoh, permainanmu jelek sekali! Kejar bolanya! Jangan seperti itu!" 
Devon tersenyum kearahku lalu segera mengejar bola dengan semangat, beberapa menit kemudian ayahnya tidak terlalu meneriakinya lagi, dan aku merasa lega. Kenapa Devon tak pernah bermain dengan hatinya? Padahal sepak bola adalah hobi terbesarnya, memang ya tekanan membuat hobi terbesar sekalipun bisa perlahan tidak diminati dengan sepenuh hati. 
"Ayo kejar terus! Jangan menganggap kami sahabat jika timmu kalah! Ayo masukkan bolanya bodoh!" 
Aku tak pernah tau mengapa aku menyukai ini semua, memberi semangat kepada Devon sepertinya bakat terpendamku. Julian hanya melirikku sambil tersenyum kecil, sepertinya dia tahu perasaanku ke Devon lebih dari sahabat. Beberapa kali dia menanyakannya kepadaku dan kutanggapi dengan cuek tentu saja pura-pura. Tapi memang dasar si Julian yang cuek tapi selalu memperhatikan kami jadilah, dia tahu bahwa aku menyukai Devon setelah mengambil kesimpulan atas tindakanku kepada Devon, anak itu memang harus diwaspadai. Sadangkan si manis Agnes dia tersenyum kecil menampakkan senyum kelembutan yang pernah kulihat, mungkin sebentar lagi aku memanggilnya malaikat. Sepertinya dia juga sama seperti Julian yang menangkap gerak-gerikku yang menyukai Devon, padahal berani bertaruh sikapku juga terlihat biasa saja, atau mereka yang terlalu jeli? Atau lebih parah aku yang teledor? 
Kenapa aku harus sewot memikirkan itu? Padahal biasanya aku hanya masa bodoh! Tapi tunggu sebenarnya Julian dan Agnes saling suka tapi tidak mau menampakkannya, aku bersyukur Agnes menyukai Julian bukan Devon. Yang pertama tentu saja aku cemburu berat jika memang itu terjadi, apa kata orang Sophie yang super cuek ini berebut cowok dengan sahabatnya sendiri, apalagi cowok itu Devon! Yang kedua jelas mereka tidak cocok, Agnes terlalu sempurna jika dipasangkan dengan Devon yang tengil itu, aih kenapa aku sewot begini, dan kenapa alasan itu menyeret kealasan pertama. Dasar sepertinya aku sudah mulai mulas jika memikirkan Devon! Siapa suruh kita bertemu hampir setiap hari, bukan salahku jika aku menyukainya lebih dari sahabat, itu karena waktu yang mempermainkan rasaku hingga terlalu jauh. 
Aku memutuskan untuk membeli minum diluar, ternyata tadi botol minumku, kutinggal dimeja gara-gara terlalu sibuk dengan berkemas yang sebenarnya tidak penting! 
Sejauh kakiku melangkah beberapa pertanyaan muncul dikepalaku, kenapa aku menyukai Devon? Apa cinta Julian kepada Agnes dan sebaliknya sebesar cintaku kepada Devon? Kenapa mereka tak pernah mengungkapkan? Kenapa Devon tak pernah memberiku tanda bahwa dia juga menyukaiku? Apa rasaku saja yang terlalu besar? Dan yang paling penting apa Devon juga menyukaiku? Beberapa pertanyaan terasa tumpang tindih dengan jawabannya. Setiap kali aku mencari jawabannya dan seketika itu pula aku merasa gagal! 
Telingaku menangkap percakapan tanpa sengaja ketika sedang mengantre membeli minum. 
"Kalau memang tim Rajawali menang, kita jalankan rencananya!" 
"Pasti! Aku tak akan membiarkan tim itu menang, bahkan aku sudah membawa pistol, benda itu kugunakan untuk orang yang mencetak angka yang membuat tim dukungan kita kalah." 
"Kenapa kamu terlihat benci sekali dengan tim itu?" 
"Karena mereka sudah mengeluarkanku, dengan tidak hormat! Dan sekarang mereka harus merasakan akibatnya, kehilangan pemain terbaiknya." 
Aku merasa wajahku memucat, tim Rajawali adalah tim Devon, dan dapat dipastikan pencetak angka pasti Devon. Dan itu artinya astaga aku tidak bisa membayangkannya, bisa-bisanya dua pemuda itu merencanakan pembunuhan diruang terbuka seperti ini! Dan itu mereka mencari korban untuk pemuas dendam begitu rendahkah nyawa seseorang? 
Devon? Sahabatku? Orang yang kucintai? Nyawanya terancam sekarang, aku harus bagaimana? Memberi tahu kepada Julian dan Agnes, tapi apa mereka percaya? Mereka akan menganggap ini omong kosong, hanya keterlibatan emosi para remaja yang tak bisa mengontrolnya. Astaga kenapa aku sepanik ini? Lebih parah lagi kenapa aku mengajukan pertanyaan sebodoh itu? Jelas saja aku panik, ini masalah nyawa seseorang, dan aku pantas untuk panik! 
Aku tak mau berteriak lagi, setidaknya agar semangat Devon menurun, biarkan saja orang lain yang mencetak angka, atau bahkan biar saja tim lawan menang. Setidaknya agar Devon selamat, walaupun dia akan dihukum ayahnya dan mendapat wejangan. Sepertinya itu terdengar lebih baik daripada dia harus merasakan tajamnya peluru. 
Kamera yang ada ditangan, ku mainkan sesuka hatiku, terkadang aku tekan berbagai tombolnya atau mengarahkan lensanya tepat diwajah Devon, membidiknya untuk mengambil setiap ekspresi yang dia keluarkan. Tapi cara itu sama sekali tidak membuat perasaanku tenang, rasa gelisah sudah memenuhi hatiku seakan aku yang akan terbunuh. Beberapa kali aku mengganti posisi dudukku, sungguh harus kuakui itu tindakan yang paling kentara sebagai wujud kegelisahanku. 
"Sophie kamu kenapa? Jangan bilang tidak ada apa-apa, kamu terlihat sangat gelisah sejak kamu duduk tadi," Julian ternyata yang peka terlebih dahulu, dasar anak itu memang paling peduli! 
"Perasaanku tak enak dengan Devon." 
Julian menoleh kearahku tanpa ada ekspresi yang dapat kutangkap dari wajahnya. "Perasaanmu atau kamu memang terlalu takut kehilangannya?" 
"Julian, biarkan Sophie mengeluarkan pendapatnya!" Si lembut Agnes sepertinya juga sebal dengan perkataan Julian. 
"Aku tak tahu, tapi perasaanku mengatakan akan ada sesuatu yang terjadi, yang membuatku tak bisa bertemu dengan Devon. Juga kalian!" Hei! Sungguh kalimat terakhir itu membuatku sedikit bingung, aku tidak mempersiapkan kalimat itu tapi kenapa muncul sendiri! Sepertinya aku sudah mulai parno! Dasar! Aku Sophie yang cuek bisa-bisanya aku seperti ini! 
Agnes tersenyum menenangkan. "Tenang saja tidak akan terjadi apa-apa dengan Devon bahkan kepadamu," ucapnya lembut. 
Jelas saja dia bisa berkata seperti itu! Yang mengalaminya kan aku bukan dia! Astaga aku resah sekali, baru kali ini aku yang biasanya tak pernah peduli dengan apapun merasakan sebuah kata yaitu resah! Semua ini gara-gara dua pemuda sialan itu! 
Aku tak pernah tahu berapa lama waktu penantianku ketika peluit panjang didendangkan, membuat kelegaan luar biasa dihatiku. Sekarang atau tidak sama sekali! Ya sekarang aku harus menemui Devon, seperti predisiku semula, tim Devon menang 3-1 dan menyumbang dua angka adalah Devon! Dan aku tahu apa selanjutnya yang terjadi bila Devon tak kuperingatkan! 
"Sophie mau kemana?" tanya Agnes disela-sela kepanikanku. 
"Aku mau bertemu Devon!" 
"Bukannya kamu sudah tahu, bahwa setiap pertandingan dia pasti dimonopoli ayahnya beberapa saat," Julian menjelaskan, dan sontak aku sadar dari kebodohanku! Sudah berapa lama sih aku menemani Devon ke lapangan? Sampai hal sekecil ini saja aku melupakannya, tapi tunggu tadi kata Julian dia diberi ceramah hanya beberapa saat! Berarti ada kesempatan untuk bertemu denganku. 
"Astaga, teman-teman sepertinya dipintu gerbang selatan ada tawuran," Agnes menyadarkan lamunanku, ya ampun! Sudah di gerbang selatan! Walaupun ruangan Devon ada di gerbang utara sepertinya aku tak mau membuang waktu! 
Aku turun kebawah dengan kekuatan yang kubisa, kaki bergetar dan pikiran terasa melayang. Tapi itulah kekuatanku, semangatku terasa berada diujung tanduk. Segalanya tak kuhiraukan, terutama panggilan kedua sahabatku yang terasa seperti angin tak ada artinya sedikitpun, jantungku terasa seperti protes, berdegup dengan cepat. Kakiku seolah ringan walaupun bergetar dan otakku terasa sangat berat berbagai pernyataan bertubrukan disana. 
Kakiku mulai berhenti ketika aku sampai disebuah pohon besar, yang aku rasa mampu melindungkiku dari lemparan batu yang mungkin sebentar lagi akan terjadi. Ya aku yakin tawuran tersebut perlahan-lahan akan sampai digerbang utara, dan jarakku dengan gerbang utara tinggal beberapa meter lagi, rasa senang tiba-tiba merayapi tubuhku, sebentar lagi aku akan bertemu Devon, mengatakannya agar dia berhati-hati.
Tanpa kusangka Devon sudah keluar dari ruangan tempatnya beristirahat sepertinya sang ayah tidak memberikan ceramah terlalu lama mengingat permainan Devon yang cukup baik. Astaga Devon kenapa permainannya baik disaat nyawanya terancam? Apa dia tidak bisa menundanya! Ya ampun kenapa aku mengomel sih! Seharusnya ada hal yang seharusnya kulakukan yang lebih berguna daripada mengomel. Seperti... 
Ya Tuhan, dari sudut mataku terlihat jelas pemuda tadi mengarahkan pistolnya kepada Devon. Aku harus bagaimana? Devon, lelaki bodoh itu malah tersenyum kearahku dan berjalan menghampiriku, bodohnya dia kenapa tidak lebih cermat terhadap keadaan. Aku yakin wajahku mulai memucat, tergambar dari wajah Devon yang mengernyit bingung. Tuhan aku harus berfikir cepat, apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan Devon, kulihat pemuda itu sudah siap membunyikan pistolnya. 
Tanpa kusadari aku berlari sekencangnya, dalam pelajaran olahraga aku sangat yakin lariku tak sekencang ini, tapi sekarang, aku terdengar seperti memburu waktu, berlomba dengan kecepatan peluru, yang sebenarnya sangat mustahil bagiku, tapi niat besarku membuatku tak kenal kata mustahil untuk saat ini. Aku yakin pemuda itu tampak sedikit kaget dengan pergerakanku yang mendadak, semoga konsentrasinya pecah, ya itu doa tulusku. 
Sedikit lagi aku sampai kepada Devon, lalu apa yang harus kulakukan, menariknya? Sepertinya membutuhkan waktu yang lama, dan yang kulakukan adalah memeluknya, menjadikan tameng ketika peluru sudah berlari kearah Devon, dan menukar nyawanya dengan nyawaku, aku sadar aku memang bukan Tuhan yang bisa menentukan, tapi aku yakin ini jalan Tuhan, membiarkanku memeluk Devon untuk terakhir kali, membiarkan hangat tubuh Devon beralih ketubuhku. 
Sayup-sayup aku mendengar bahwa pemuda yang menembakku sudah ditangkap oleh petugas keamanan, juga teriakan Agnes dan Julian yang juga kudengar, sebelum kakiku lemas dan keseimbangaku perlu dipertanyakan lagi. Devon memegang pundakku agar aku tak jatuh ketanah, baru kali ini aku melihat Devon tampak khawatir, dan menyebut namaku dengan ketakutan. Agnes dan Julian datang tepat saat kegelapan mulai menyapaku. 

** 
Cahaya putih perlahan-lahan berpendar dimataku, berganti dengan wajah Devon Julian dan Agnes, mereka memakai baju hijau layaknya para penjenguk dirumah sakit. 
Alat-alat rumah sakit menempel ditubuhku, entah berapa banyak aku tak tahu dan aku tidak mau tahu. Badanku rasanya sakit semua, aku tidak tahu tepatnya luka-luka ditubuhku, tapi yang aku tahu hanya sakit disekujur tubuhku. Seharusnya aku bersyukur sedikit, setidaknya waktuku bertemu dengan Devon dan kedua sahabatku diperpanjang, walaupun aku tidak yakin sampai hari esok. Bukan putus asa tapi karena keadaan yang membuatku sadar diri bahwa waktuku tak banyak. 
"Sophie," panggil Devon, aku hanya terseyum. Aku berani bersumpah bahwa tadi aku mengalami masa kritis, dan mungkin saat ini aku masih mengalaminya. 
"Aku senang kamu selamat," kataku lirih. 
Devon menatapku sedih, astaga anak bodoh! Kenapa dia menatapku seperti itu, harus kukatakan berapa kali kalau aku tak suka dia menatapku seperti itu! Seakan usahaku untuk menyelamatkannya sia-sia! "Tapi keadaanmu Sophie, sangat buruk, hanya mujizat yang dapat menyembuhkanmu. Dan aku percaya dengan itu, karena sekarang kamu sudah sadar." 
Kurasa ucapan Devon terlalu berlebihan, jelas saja itu tidak mungkin. Setidaknya perasaanku mengatakannya. Pandanganku beralih pada Julian dan Agnes. "Jaga si bodoh Devon! Buat semangatnya kembali, apapun itu buat dia selalu menang." 
Astaga kenapa Agnes melankolis sekali, dia sudah menangis didekapan Julian, padahal aku hanya mengucapkan permintaan terakhir, sungguh tidak keren sekali ini! 
"Kami tidak bisa menjaga Devon seperti kamu, sampai kapanpun kami pasti tak bisa menjaga Devon sesempurna kamu," Julian yang angkat bicara, wajahnya menunjukkan ketegaran yang luar biasa, tetapi tidak dengan matanya, baru kali ini aku melihat sorot mata Julian sesedih itu. 
Aku tersenyum tipis. "Kalian saling suka, kenapa tidak membuat komitmen seperti pacaran, aku pasti senang sekali." 
"Sophie," Agnes menyanggahku seakan kalimatku ini terdengar mengagetkan dunia, selain melankolis ternyata dia lebay juga. Atau jangan-jangan aku yang lebay! 
"Devon, aku minta kamu bermain bola dengan baik, biarpun aku tidak ada, tolong buat motivasimu terhadap bola meningkat. Kecintaanmu harus dengan hati bukan logika. Karena jika kamu menggunakan logika itu akan bertubrukan dengan hati kamu. Tanpa teriakanku dan tanpa makianku, aku mohon kamu tetap menjadi yang terbaik seperti saat ini, bukan karena ayahmu tapi karena dirimu sendiri." 
Devon menggenggam tanganku, rasa hangat dari tangannya terasa mengalir disetiap aliran darahku, sejenak aku merasa nyaman disela-sela dinginnya tubuhku. "Kamu tahu sebenarnya, aku mau mengatakan bahwa aku menyukaimu setelah selesai pertandingan. Karena berkatmu aku tahu banyak hal, terutama semangat dan pantang menyerah. Tapi waktu seakan tidak berpihak pada kita, dan sekarang aku mengatakannya bahwa aku menyukaimu Sophie, sahabat keciku." 
Aku merasakan butir-butir air mata perlahan mengalir dari mataku, aku tak tahu mengapa aku menangis, antara aku senang karena Devon membalas perasaanku atas usahaku selama ini, atau karena aku lega bahwa cintaku kepada Devon terbalaskan. Atau bahkan yang lebih parah lagi karena Devon membalas perasaanku disaat terakhirku. Mungkin yang paling tepat pernyataan terakhir. 
"Aku lega kamu juga menyukaiku, tapi sayangnya kita tak bisa berpacaran seperti Agnes dan Julian nantinya, aku harus pergi. Aku hanya berharap kalian tidak melupakanku sebagai sahabat yang pernah ada sisi kalian." 
Bayangan putih tepat didepan tempatku berbaring terlihat jelas, seorang wanita cantik bergaun putih dengan mahkota dikepalanya, juga membawa tongkat putih menatapku dengan senyuman. Sejenak kulihat hanya kenyamanan yang ada, terasa nyaman melihat wanita cantik itu. Aku yakin dia penjemputku di bumi, setidaknya sekarang waktuku sudah berakhir, pengabdianku dibumi sudah tamat! 
"Sophie, tolong..." Devon tampak tak dapat berkata-kata lagi, Julian juga beberapa kali bergumam menyebut namaku, sedangkan Agnes isak tangisnya makin menjadi. Benar-benar akhir yang tidak ada keren-kerennya sama sekali! 
Aku tersenyum kepada Devon, senyum sebagai wujud terimakasihku kepadanya. Atas balasan cintanya kepadaku, penjemputku merentangkan tangannya kehadapanku. Dan perlahan-lahan mataku tertutup. Akhir yang bahagia, menutup mata dengan tersenyum dan kelegaan hati merupakan keindahan yang tak ternilai harganya. 
Setelah aku keluar dari ragaku aku melihat Julian menangis, tangisnya pecah seketika setelah tadi dia tahan. Dan Agnes anak itu bukan lagi terisak tapi histeris, sepertinya dia tidak terima dengan keadaannya kehilangan dua orang yang disanyanginya membuatnya terpukul untuk kedua kalinya, setidaknya kehilangan aku tidak membuatnya merasa terintimidasi seperti kehilngan kakaknya. Sedangkan Devon, tangisnya juga pecah. Nafasnya terdengar berat sekali, dia terlihat sangat kesal terhadap waktu yang tega mempermainkan perasaanya. Juga takdir yang seakan mengejeknya dengan bersorak sorai dihadapannya. Hah aku harus pergi sekarang, aku tak mau melihat mama histeris karena anak satu-satunya sudah tidak bernyawa. 
Selamat tinggal semuanya, Devon, Julian, Agnes, Mama semoga kalian tidak larut dalam kesedihan, aku sudah nyaman disini bersama wanita cantik yang mengajakku pergi! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar